Sunday, June 27, 2010

अल-कुर'अन & Matematika

Tafsir bi al’ilmi

Al-Qur’an adalah “kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), diturunkan kepada nabi Muhammad saw. penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan malaikat Jibril ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya bernilai ibadah, dimulai dengan al-fatihah dan ditutup dengan surah an-Naas. Dan dalam pengertian lain ditambahkan kalimat “terpelihara dari setiap perobahan dan pergantian”


Diantara kemu’jizatan al-Qur’an, antara lain adalah sifatnya yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Dimana ayat yang sering dirujuk adalah surah Fusshilat ayat 3. Dalam ayat tersebut, Allah memberikan suatu statemen, bahwa dalam seluruh ciptaan-Nya, Allah memperlihatkan segenap tanda kekuasaan-Nya disetiap penjuru alam, bahkan dalam diri kita sendiri pun terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya.


Dari sini muncul suatu metode penafsiran al-Qur’an yaitu tafsir bi al’ilmi. Tafsir ini sebenarnya merupakan pengembangan dari tafsir bi ar-ro’yu (tafsir diroyah). Tafsir ini bertitik-tolak dari pendapat sang mujtahid dan tidak berdasarkan pada hal-hal yang dinukilkan dari sahabat dan tabi’in.

Tafsir bi al’ilmi merupakan bentuk tafsir yang dipengaruhi oleh temuan-temuan keilmuan mutakhir. Tafsir ini secara sederhana dapat diartikan sebagai cara memahami al-Qur’an dengan penemuan-penemuan sains modern. Tafsir jenis ini berorientasi pada ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat kealaman (ayat-ayat kauniyah), sehingga menuntut seorang mujtahid bekerja keras mengungkap hubungan antara ayat-ayat tersebut agar dapat memperlihatkan kemu’jizatan al-Qur’an.

Banyak pendapat yang bermunculan dalam menyikapi kehadiran tafsir jenis ini. Di satu sisi, banyak pendapat yang mendukung kehadiran tafsir jenis ini. Memang kehadiran tafsir ini merupakan jawaban dari kemunduran yang dialami umat Islam dalam hal ilmu pengetahuan. Sebenarnya, tafsir ini sendiri sudah muncul sejak zaman Abbasiyah saat aliran mu’tazilah berkuasa. Dan akhirnya tafsir ini kembali menggeliat setelah melihat kemunduran dan stagnansi yang dialami ilmu pengetahuan Islam.

Argumen yang diungkapkan pendukung tafsir model ini, adalah ayat-ayat yang memerintahkan manusia memakai dan menggunakan segenap kemampuan akalnya untuk memikirkan ciptaan Allah. Antara lain dalam surah Ali Imran yang didalamnya terdapat istilah ‘ulul albab sebagai orang-orang yang mau memikirkan ciptaan Allah. Argumen lain adalah ayat yang mencela orang-orang yang hanya memngikuti nenek moyangnya (taqlid) tanpa mencari inovasi baru dalam hidup.

Di sisi lain, pihak yang menolak tafsir model ini memakai argumen, bahwa sesungguhnya tafsir model seperti ini hanya membuat-buat penafsiran al-Qur’an, dimana terdapat ancaman dari Nabi dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yang artinya kurang lebih :


“… Dan barangsiapa menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya (ro’yu) nya maka hendaknya ia bersedia menempatkan diri di neraka pula”.

Mereka juga memakai argumen suroh al-Baqoroh ayat 169 dan suroh an-Nahl ayat 44 yang menjelaskan bahwa selain dari Rasulullah, tidak ada yang berhak menafsirkan al-Qur’an. Bagi kelompok ini, al-Qur’an adalah kitab tasyri’, bukan kitab yang diturunkan untuk ilmu pengetahuan.

Memang, bila kita fikirkan mendalam, bagaimana sebuah teori ilmiah modern yang bersifat nisbi, relatif dan bisa saja berubah sewaktu-waktu, dapat digunakan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an yang mutlak kebenarannya. Apalagi fakta bahwa penemuan-penemuan ilmiah yang dipergunakan sebagai dasar penafsiran ayat-ayat tersebut adalah orang-orang Barat, dimana sangat dimungkinkan faham-faham mereka yang bertentangan dengan Islam ikut teradopsi.

Tafsir bi al’ilmi yang sering dikritik memakai pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan seperti fisika, biologi dan disiplin ilmu lain yang semuanya memakai dasar logika induktif. Observasi yang memakai metode ilmiah yang menekankan pentingnya peragaan percobaan dipergunakan untuk menyusun sebuah teori. Penyelidikan ilmiah oleh berbagai macam disiplin ilmu tersebut menekankan sikap empirik, dan bersandar pada percobaan yang mantap. Dorongan untuk melakukan percobaan ilmiah secara empirik tersebut mula-mula ditekankan oleh Galileo Galilei (1564-1642).

Contoh penafsiran bi al’ilmi antara lain adalah konsep terbentuknya alam semesta memakai teori big bang yang dihubungkan dengan suroh al-Anbiya’ ayat 30, jumlah selaput rahim yang dihubungkan dengan suroh az-Zumar ayat 6, penyerbukan tumbuhan oleh angin yang dihubungkan dengan suroh al-Hijr ayat 22, dan lain sebagainya, yang semuanya terhubung dengan ayat al-Qur’an.

Yang menjadi permasalahan adalah pernyataan-pernyataan mufassir bi al’ilmi kadang seolah memaksa al-Qur’an agar terhubung dengan ilmu pengetahuan. Seperti pernyataan bahwa zarroh dalam suroh Yunus ayat 61 menunjukkan pada atom. Ada pula penafsiran-penafsiran yang sampai pada kesimpulan yang bertentangan dengan doktrin Islam yang diyakini oleh mayoritas muslim.

Contoh yang konkrit adalah Agus Mustofa, seorang pengarang yang menulis buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”. Di dalam bukunya, beliau mengungkapkan argumen-argumen ilmiah, berupa teori-teori fisika yang menguatkan pendapatnya bahwa akhirat tidaklah kekal seperti yang diyakini oleh mayoritas muslim saat ini.

Inilah yang menyebabkan tafsir bi al’ilmi dikritik. Salah satunya karena kebenarannya tidak kekal. Kenapa? Karena penarikan kesimpulan dari ilmu pengetahuan menggunakan cara generalisasi terhadap beberapa fakta yang ada. Memakai beberapa observasi yang seolah mewakili seluruh keadaan jagat raya ini.

Sifat ilmu pengetahuan sendiri selalu berevolusi dari waktu ke waktu. Ambil kasus Pluto, selama kurang lebih 70 tahun, Pluto dianggap sebagai bagian tata surya. Namun belum lama ini, Pluto didepak dari keanggotaan tata surya, dan diklasifikasikan sebagai benda langit biasa yang sejenis dengan asteroid.


Matematika

Apakah matematika itu? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan berbagai macam jawaban, tergantung bilamana pertanyaan itu dijawab, dimana dijawab, siapa yang menjawab, dan apa saja yang dipandang sebagai “matematika” oleh si penjawab.


Begitu banyak pendapat muncul dalam pendefinisian matematika. Ada yang mengatakan matematika sebagai bahasa simbol, matematika metode berpikir logis, matematika adalah sains mengenai kuantitas dan besaran, matematika adalah sains yang memanipulasi simbol, dan lain sebagainya.

Istilah mathematics (Inggris) berasal dari bahasa Yunani mathematike yang bermakna “relating to learning”. Berasal dari akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu, dan berhubungan erat dengan kata mathanein yang berarti belajar (berpikir).


Jadi berdasarkan etimologis, perkataan matematika berarti “ilmu yang diperoleh dengan bernalar”. Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Pada tahap awal, matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris, diproses dalam struktur kognitif dan akhirnya disimpulkan dalam konsep matematika.

Matematika mempunyai tiga sifat, yaitu deduktif, terstruktur, serta berfungsi sebagai ratu sekaligus pelayan ilmu. Penekanan yang diambil oleh makalah ini adalah sifat metematika sebagai ilmu dengan penalaran deduktif.

Sebagai ilmu deduktif, matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan. Walaupun dalam matematika, kebenaran bisa dimulai secara induktif. Namun kebenaran generalisasi yang diambil harus bisa dibuktikan secara deduktif. Logika deduktiflah yang dipakai dan hukum-hukum logika dalam matematika menspesifikasikan makna dalam pernyataan matematis, Contohnya adalah jika kita mengatakan bahwa seluruh bilangan genap habis dibagi dua, maka kita harus mampu mebuktikannya untukkeseluruhan bilangan genap, walaupun sebelumnya kita mengambil suatu aksioma berupa pernyataan bahwa 2n adalah bilangan genap.



Pembuktian Al-Qur’an dengan Matematika


Al-Qur’an, seluruh isinya adalah merupakan mu’jizat. Simbol-simbol maknanya, yaitu lafadz-lafadznya juga merupakan mu’jizat. Untuk mebuktikan kemu’jizatan al-Qur’an, dilakukan berbagai cara, salah satunya dengan menghubungkan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan yang ada.

Dalam pembuktian al-Qur’an dengan tafsir bi al’ilmi, ditemukan banyak kelemahan, yang salah satunya disebabkan karena logika yang dipakai oleh ilmu pengetahuan kebanyakan adalah logika induktif. Lalu bagaimana dengan pengungkapan mu’jizat al-Qur’an dengan jalan menelusuri al-Qur’an memakai pendekatan matematika?

Al-Qur’an banyak mendorong manusia untuk memperhatikan, berfikir, memahami dan menggunakan akal. Dalam penciptaan langit dan bumi, berjalannya kehidupan, dan seluruh ciptaan Allah yang lain, terdapat keteraturan perhitungan yang luar biasa. Dan semuanya dalam satuan angka.

Angka adalah ruh dari matematika, sebuah bahasa murni ilmu pengetahuan (lingua pura) yang menjadi bahasa universal dan diyakini oleh Carl Sagan, seorang fisikawan, sebagai bahasa universal alam semesta. Matematika bukan ciptaan manusia-manusia berintelegensi tinggi seperti Euclid, Pythagoras ,Archimedes, al-Khawarizmie, Galileo, Kepler, ataupun Stephen Hawking. Matematikawan tidaklah menciptakan matematika, namun mereka menemukan adanya aturan atau persamaan matematika dalam segala hal yang diciptakan oleh Allah.

Apa hubungan matematika dengan al-Qur’an? Peerlu kita tahu, bahwa salah satu jenis mu’jizat dari al-Qur’an adalah I’jaz ‘adadi (mu’jizat yang bersifat bilangan). Fenomena ini sudah banyak dipelajari oleh ‘ulama-‘ulama terdahulu dan bahkan sampai sekarang pun masih banyak dipelajari oleh para ‘ulama.

I’jaz ‘adadi inilah yang kemudian dirujuk sebagai sebuah pendekatan pembuktian mu’jizat baru, yaitu dengan ilmu matematika. Seperti yang dilakukan A. Salma Alif Sampayya, Abu Zahra an-Najdi dan lain sebagainya.

Cara pembuktian kemu’jizatan al-Qur’an seperti sangat unik. Diantaranya ditemukannya keseimbangan jumlah kata syahr (bulan) sebanyak 12 kali, jumlah kata sholawat (jama’ dari sholat) adalah lima waktu, ad-dunya dan al-akhiroh yang sama-sama disebut 115 kali, dan lain sebagainya.

Apalagi pemakaian komputer untuk menghitung jumlah kata-kata dalam al-Qur’an, nilai numerik suatu kata, prosentase suatu kalimah terhadap keseluruhan al-Qur’an serta penemuan angka 19 sebagai angka kunci untuk memahami kombinasi-kombinasi angka dalam al-Qur’an, semuanya makin memantapkan penggunaan I’jaz ‘Adadi dalam pembuktian kemu’jizatan al-Qur’an.

Samakah pembuktian kemu’jizatan al-Qur’an dengan sains non matematik dan matematik? Tentu saja berbeda. Matematika membuktikan kebenaran al-Qur’an bukan dengan observasi terhadap alam, namun dengan cara mencari titik temu dan keseimbangan bilangan dalam al-Qur’an.

Matematika tidak mengenal pengamatan secara ilmiah pada alam semesta untuk memahami kemu’jizatan al-Qur’an. Berbeda dengan Fisika, Biologi dan Geografi yang membuktikan kemu’jizatan al-Qur’an dengan pengamatan terhadap alam semesta, baru kemudian “menghubungkan”nya dengan al-Qur’an.

Matematika hanya membutuhkan al-Qur’an itu sendiri. Matematika hanya membutuhkan data ‘berapa jumlah kata yaum?’, ‘berapa jumlah huruf dalam kalimah bismillahirrohmanirrohiim?’, ‘berapa nomor urut suroh an-Nuur dalam mushaf?’ dan lain sebagainya. Dari situ, dilakukan suatu permutasi, kombinasi dan operasi aritmatika lain yang nantinya akan menunjukkan sebuah keajaiban.

Proses pembuktiannya yang murni memakai nalar dan bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, membuat matematika Qur’an sungguh menakjubkan dan jauh dari kontroversi. Sifat matematika sendiri yang tidak membutuhkan observasi juga makin meyakinkan bahwa matematika Qur’an memang benar.

Namun, pembuktian al-Qur’an dengan cara ini, juga kadang dipakai seseorang untuk mendukung pendapatnya. Ambil contoh Rasyid Khalifa yang mengambil kesimpulan bahwa 2 ayat terakhir suroh at-Taubah harus dikeluarkan dari al-Qur’an karena “mengacaukan komposisi matematis al-Qur’an”.

Pembuktian kemu’jizatan al-Qur’an dengan matematika juga menjadi alat penyebaran dogma dan keyakinan yang dianut oleh seorang ilmuwan. Seperti yang dilakukan Abu Zahra’ an Najdi yang mencoba mendukung faham-faham kaum Syi’ah

No comments:

Post a Comment