Lalu jiwa pagi basah. Tersiram pecahan kristal puisi burung penari. Terkurung terpantul-pantul di kanal telinga. Menggetarkan selaput. Tersapu tulang ke tingkap jorong. Meluncur meliuk-liuk di rumah siput dan tenggelam di dalam cairan. Bermetamorfosis menjadi sinyal-sinyal elektrik. Bergerak secepat kilat menembus ruang gelap serebrum. Mencipta persepsi. Dan aku mendengar kicau riang di pucuk-pucuk ranting. Menggema di celah-celah rongga udara. Membangunkan setiap jiwa culas tertidur berselimut urine setan.
Mentari pun perlahan terus menghujani bumi dengan partikel foton. Buah dari reaksi fusi dengan panas hingga 14 juta derajat celcius. Penggabungan rasa cinta hidrogen menjadi helium. Menyebarkan gelombang tampak. Sehingga mata mampu menyingkap materi. Hilang sudah gelap. Gelap di bumi. Gelap di hati. Lalu aku berjalan memanjakan raga. Menghirup udara segar. Mengucap syukur. Meyunggingkan senyum. Mengulum sapa. Mencipta tekad untuk memulai hari penuh semangat.
Sesuap waktu berlalu. Tak terasa surya sudah setinggi tombak. Tiba saatnya membeli tiket istana surga yang dikelilingi peri bermata jeli. Shalat dluha. Membangun istana setahap demi setahap. Rakaat demi rakaat. Setiap pagi setiap hari.
“Masjid yang indah!” Gumamku dalam hati saat aku berdiri di depannya. Meski bukan kali pertama aku melihat. Tapi tetap megah terkesan. Kokoh berdiri mendekap ruang tiga lantai. Sayap kanan kiri berhiaskan ornamen gaya khas tradisi masa silam. Tepat di depan pintu melekat ukiran kaligrafi yang setia menyambut siapa saja yang menapakkan kaki di altar suci. Untuk memenuhi panggilan Ilahi, mengkaji ilmu agama, atau hanya sekadar melepas lelah karena tamparan keras terik mentari siang hari.
Wajah dan mahkota kepalaku basah terbasuh air wudlu. Lalu melangkah setenang jiwa yang tercelup cahaya Ilahiah. Ku pijakkan kaki ke tangga setingkat-tingkat. Membuka pintu rakhmat. Menabur sua dengan sang pencipta. Namun belum sempat melayangkan takbir pembuka, hatiku tersedu. Rintihan jiwa sesal terdengar jelas di kanal telinga. Suara tangis merapatkan udara ruang lantai dua.
“Subhanallah…” pujiku.
“Awal yang indah bagi siapa saja yang menyesal atas dosa. Menghiba, meratap, meminta maaf, mengakui salah. Dan berjanji tidak akan mengulang kali kedua.” kataku dalam hati lantaran tangis dari lantai tiga tempat shalat putri, terdengar demikian jelas. Yang memaksaku membuat kesimpulan betapa bahagia setiap jiwa yang bertaubat.
Kulayangkan takbir pembuka. Meresapi ayat demi ayat. Tenggelam dalam magma dingin. Membuka tabir dan memecahkan dinding penghalang. Berselancar menuju dimensi spiritualitas tanpa batas. Alam rububiyah. Raga bergetar setiap kali otak menangkap makna bibir berucap. Sejuk mengalir dari palung hati hingga kulit ari. Lalu terasa seringan awan. Melayang.
“Assalamualaikum warahmatullah…” usai shalatku.
Isak tangis kembali menggetarkan selaput telingaku. Kali ini ada yang janggal. Aku semakin tidak yakin. Ragu dengan kesimpulan awalku. Sesekali meluap kata tolong. Tapi aku tetap duduk. Melantunkan dzikir. Tapi tetap tidak bisa menikmati setiap lantunan puji dari lisanku karena isak tangis kian keras menggedor-gedor telinga bahkan jiwaku. Aku semakin penasaran. Khawatir. Bertanya-tanya apa yang terjadi di lantai tiga? Apa yang menyebabkan seseorang yang tidak aku tahu itu terus menangis? Lalu tanpa pikir panjang aku segera beranjak dari tempat simpuh. Meluncur ke lantai satu. Sebab lantai tiga hanya bisa diakses dari lantai satu. Dan hanya ada satu tangga. Aku berlari ke tangga yang menuju lantai tiga. Namun langkahku terhenti saat mencapai setengah tangga. Seekor ular kecil sedang asyik melilitkan badannya di bibir tangga. Menjulur-julurkan lidahnya. Terus merayap ke atas. Sedang di ujung tangga tampak anak puteri meringkuk ketakutan menangis terisak-isak. Aku pun kebingungan. Tapi syukurlah tepat ketika aku akan pergi dua orang takmir masjid datang. Masing-masing membawa tongkat. Lalu mereka melakukan apa yang mestinya mereka lakukan.
Lalu aku termenung. Kenapa ia begitu takut? Kenapa ia harus menangis? Bukankah itu hanya seekor ular kecil? Dan saya yakin bahwa hari itu bukan kali pertama ia melihat ular! Terlalu mengada-ada memang, kalau hal seperti itu dipikirkan. Tapi aku berkeyakinan bahwa setiap peristiwa dalam rentang waktu pasti ada sesuatu yang bisa dipetik hikmahnya.
Aku berhipotesa, bahwa yang menyebabkan anak puteri itu takut bukan karena ular semata. Tapi karena ia berada di ruang yang relatif sempit dan tidak ada jalan lain yang bisa dilalui agar terhindar dari gangguan ular. Ya, saya kira itulah penyebab utamanya. Sebab seandainya ia berada di luar masjid pasti ia tidak akan takut. Apalagi harus menangis. Sebab ia bisa segera menghindar dan lari.
Aku memetik hikmah. Buah dari pohon peristiwa dalam rentang waktu sesaat. Aku basah oleh sastra kehidupan. Aku senang sebab aku menemukan analogi ruang hati. Ya, ruang hati. Sebuah gumpalan darah yang menyimpan kedalaman jiwa. Yang tersembunyi dan tak tersentuh panca indera. Tempat setiap urusan manusia. Semua tersimpan di sana.
Ruang hati. Yang jika senang ia akan berhiaskan bunga-bunga, berpayung pelangi, berlantaikan permadani, beraroma kasturi, dan berselimutkan kehangatan. Tapi jika sedih ia dipayungi awan gelap hitam, berasa masam, beralas duri, dan berdekap dingin. Begitulah kira-kira. Semua tergantung pada suasana hati. Seberapa bahagiakah hati, itu yang akan menentukan seberapa bahagia raga yang membungkusnya.
Lalu apa yang menentukan kebahagiaan hati? Banyak. Salah satunya adalah seberapa besar volume ruang hati seseorang. Semakin besar ukuran volumenya, maka akan semakin besar peluang ia merasakan kebahagiaan. Mengapa? Karena ruang hati yang besar akan menjadikan setiap masalah yang tersimpan di dalamnya relatif lebih kecil. Sedangkan hati yang sempit akan menjadikan setiap masalah akan tampak relatif besar. Seperti kisah anak puteri tadi. Ia takut sebenarnya bukan semata karena ular kecil yang menghadang langkah kakinya. Tapi juga karena ruang tempat ia berada relatif kecil. Maka itu jika kita menginginkan kebahagiaan. Kita bisa mulai dengan belajar memiliki hati yang lapang, sehinnga masalah sebesar apapun akan menjadi kecil.
Ruang hati. Beruntunglah orang yang memiliki ruang hati yang besar. Sebab ia tidak mempunyai rasa negatif kepada orang lain. Benci, iri, cemburu, atau dendam. Bagaimana ia bisa membenci? Sedang ia tidak mempunyai alasan untuk membenci. Bagaimana ia bisa iri dan cemburu? Sementara keinginan itu sangatah kecil dan tersimpan jauh di sudut hati. Bagaimana ia punya keinginan membalas dendam? Sebab ia tidak pernah merasa tersakiti. Begitulah ruang hati. Semakin besar, akan semakin mudah kita bisa bahagia. Semoga.
Catatan أحمد مهيمن
No comments:
Post a Comment